MINAHASA, PELOPORBERITA.ID | Persidangan kasus dugaan penyerobotan lahan di kawasan Kebun Tumpengan, Desa Sea, Kecamatan Pineleng, kembali berlangsung panas di Pengadilan Negeri Manado, Senin (24/11/2025).
Lima saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkap sejumlah fakta baru terkait dugaan cacat administrasi dan ketidaksesuaian prosedur dalam penerbitan sertifikat tanah.

Empat terdakwa, termasuk Arie Giroth Cs yang dijerat Pasal 167 ayat (1) KUHP junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, mengikuti jalannya persidangan dengan cermat. Laporan perkara ini sebelumnya dilayangkan PT Buana Propertindo Utama yang diwakili Jimmy Wijaya.
Dua pegawai BPN Minahasa, Agung Nur Isa dan Candra Darma Nugraha, menjadi pusat perhatian. Dalam kesaksiannya, mereka mengungkap bahwa saat diminta penyidik memeriksa bidang tanah milik tiga terdakwa serta satu bidang atas nama Jeffey Masinambow, pihaknya hanya melakukan plotting berdasarkan titik GPS—tanpa pengukuran fisik di lapangan.
“Kami hanya plotting saja. Soal luas, kami tidak tahu,” ujar salah satu saksi di hadapan majelis hakim.
Fakta mengejutkan lainnya, hasil plotting tersebut tidak mencantumkan luas tanah dalam berita acara. Kedua saksi juga menegaskan bahwa penerbitan sertifikat tidak boleh dilakukan bila kewenangan pemerintahan desa tidak sesuai dengan lokasi wilayah tanah.
“Kalau tanah di wilayah Pemerintah A tetapi sertifikat keluar dari Pemerintah B, itu tidak bisa. Kalau sampai terbit, berarti ada kelalaian,” tegas saksi dari BPN.
Kesaksian Plt Kumtua Desa Sea Dinilai Janggal.
Plt Hukum Tua Desa Sea, Johana Metrix Tamuntuan, memberi keterangan yang memicu tanda tanya besar. Ia menyebut bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) oleh Jimmy Widjaja diterima desa sejak 2023.
Namun ketika penasihat hukum terdakwa menanyakan pembayaran PBB oleh Ari dan Jemmy Giroth—yang disebut sudah dilakukan sejak 2008 dan 2017 Tamuntuan mengaku lupa.
Pernyataan itu langsung disindir kuasa hukum terdakwa, Noch Sambouw SH, MH, CMC.
“Masyarakat ibu bayar pajak sejak 2008 dan 2017, tapi ibu lupa?”
Mantan Kumtua Ungkap Penolakan dan Dugaan Imbalan
Kesaksian paling tajam datang dari mantan Hukum Tua Desa Sea, John Pontororing. Ia memastikan bahwa selama masa jabatannya (1990–1995), tidak ada proses pengukuran tanah untuk area yang kini disengketakan.
Pontororing juga mengungkap pernah menolak permohonan konversi hak milik dari Mumu Cs, Donie, Yan, dan Mintje, meski mereka menawarkan imbalan Rp20 juta—nilai besar setara harga mikrolet pada masa itu. Ia menolak karena lahan tersebut merupakan tanah eks HGU yang ditempati warga Desa Sea sejak 1960.
Yang mengejutkan, menurut kuasa hukum terdakwa, setelah ditolak di Desa Sea, permohonan tersebut justru dibawah ke Desa Malalayang Dua dan ditandatangani Kumtua setempat, Salenusa—hal yang dinilai janggal secara hukum.
“Pada tahun 1990, apalagi ketika sertifikat terbit tahun 1995, Malalayang sudah bukan bagian Kabupaten Minahasa. Sudah masuk wilayah Kotamadya Manado sesuai PP No. 22/1988,” jelas Noch.
Ia menambahkan bahwa cara ini bertentangan dengan Keppres No. 32/1979 yang mengatur bahwa prioritas hak atas tanah eks HGU diberikan kepada masyarakat yang menempati.
Majelis hakim yang dipimpin Erwin Marentek SH dengan anggota Bernadus Papendang SH dan Aminudin Dunggio SH menutup persidangan dengan agenda pemeriksaan bukti selanjutnya.
Sidang berikutnya diprediksi akan menjadi tahap paling krusial untuk menilai keabsahan sertifikat HGB 3320, HGB 3036, dan HGB 3027 yang menurut tim kuasa hukum terdakwa diduga memiliki cacat fundamental.







