Manado — peloporberita.id — Kasus dugaan bullying yang dikaitkan dengan pungutan liar (pungli) dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (FK Unsrat), terus menuai sorotan.
Laporan dari beberapa peserta PPDS menyebutkan bahwa praktik ini tidak hanya berdampak pada kondisi mental, tetapi juga mempengaruhi kelangsungan pendidikan mereka.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari sumber terpercaya yang enggan disebutkan namanya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membekukan sementara praktik PPDS di RSUP Prof. Kandou selama lima bulan terakhir akibat laporan bullying.
Namun, hingga kini, belum ada kejelasan mengenai penyelesaian kasus ini.Kasus perundungan dalam dunia kedokteran sebenarnya bukan hal baru.
PPDS yang sedang menjalani pendidikan sering kali mendapat tekanan akademik tinggi untuk meningkatkan disiplin dan kompetensi mereka. Namun, laporan mengenai intimidasi yang berkaitan dengan pungutan uang ilegal telah menjadi perhatian serius.
Beberapa mantan peserta PPDS yang telah menyelesaikan pendidikan mereka mengungkapkan adanya praktik di mana konsulen (dosen pembimbing) meminta residen untuk membiayai berbagai kebutuhan pribadi.
Salah satu dugaan laporan menyebutkan bahwa ada konsulen yang meminta dibelikan karpet mobil seharga Rp20 juta, alat pelurus rambut seharga Rp8,5 juta, hingga membayar makanan dan klapertart untuk perjalanan.
Lebih jauh, ada dugaan laporan mengenai peserta PPDS yang diminta membayar tagihan di pet shop, menalangi pembelian perhiasan, hingga diwajibkan menyewa kos milik konsulen.
Seorang peserta bahkan mengaku terpaksa menyewa dua kos-kosan yang satunya dekat RS dan yang satunya lagi sedikit jauh dari RS, milik konsulen lain karena takut akan intimidasi.
“Tidak semua PPDS berasal dari keluarga mampu. Jika tekanan akademik sudah berat, ditambah tekanan finansial seperti ini, bagaimana mereka bisa bertahan?” ujar sumber yang prihatin dengan situasi ini.
Laporan lain menyebutkan adanya dugaan pembuatan rekening atas nama peserta PPDS yang kemudian dikuasai oleh konsulen.
ATM dan buku tabungan harus diserahkan kepada konsulen, dan peserta diharuskan mengisi rekening tersebut, yang menurut sumber bisa mencapai miliaran rupiah.
Situasi ini dinilai sangat merugikan residen yang hak bersuaranya dibatasi oleh otoritas konsulen.
Tekanan finansial (pungli) yang mereka alami bahkan telah menyebabkan beberapa peserta mengalami depresi berat, yang bisa berdampak pada bunuh diri, sebagai akibat dari beban psikologis dan finansial yang tidak tertahankan, bahkan bisa terlilit hutang pinjol.
Tekanan untuk belajar dan tugas dalam pendidikan bukan masalah bagi residen “Saksi korban harus dilindungi.
Jangan sampai mereka yang berani berbicara malah menjadi sasaran intimidasi dan sentimen dari konsulen,” tegas sumber tersebut dan bisa menyebabkan gagal dalam studi.
Berbagai upaya untuk mengungkap kasus ini telah dilakukan, termasuk memosting masalah tersebut ke media sosial oleh seorang peserta PPDS yang akhirnya memilih berhenti karena tidak mampu lagi membayar pungutan liar.
Sejumlah orang tua peserta juga mengungkapkan keprihatinan mereka atas praktik ini yang semakin tidak terkendali.
Masyarakat dan pihak terkait diharapkan untuk mendesak adanya audit menyeluruh terhadap program PPDS di FK Unsrat, khususnya di bagian anak.
Inspektorat yang telah turun ke lapangan sebelumnya dinilai belum memberikan efek jera bagi pelaku bullying tersebut.
“Tanpa hukuman yang tegas, praktik ini akan terus berlangsung dengan metode baru untuk menutupi kasus bullying dan pungli,” tambah sumber tersebut.
Masyarakat dan akademisi pun berharap agar ada perhatian serius dari pemerintah dan institusi pendidikan untuk menghapus praktik-praktik yang merugikan peserta didik.
Ini demi menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan adil dan menelorkan dokter-dokter spesialis yang handal dan memiliki kepedulian yang besar pada pasien dengan tulus bukan kejar rupiah karena kejar setoran supaya balik modal.
Karena jika ingin kaya jadilah pengusaha bukan jadi dokter. Tutup sumber terpercaya tersebut kepada media ini.
Adapun media ini masih menunggu respon resmi dari pihak terkait untuk memberikan klarifikasi dalam berita lanjutan, terimakasih.