Proyek PLTU Talaud Mangkrak, Diduga Terindikasi Korupsi: Kerugian Negara Capai Rp276 Miliar

Talaud — PELOPORBERITA.ID — Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Talaud 2×3 MW yang diharapkan menjadi solusi energi bagi masyarakat Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, justru menyisakan ironi. 

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dengan NOMOR BP: 08/AUDITAMA VII/PDTT/04/2024 tanggal 30 APRIL 2024, membuka dugaan adanya indikasi kuat korupsi dalam proyek ini, dengan potensi kerugian negara yang fantastis.

Proyek strategis nasional yang terletak di Desa Tarun, Kecamatan Melonguane, ini merupakan bagian dari program PLTU skala kecil tersebar (batch-2), dengan kontrak awal senilai USD 6,12 juta dan Rp84,6 miliar. 

Namun, setelah 12 kali perubahan kontrak, nilai proyek justru melonjak menjadi USD 4,96 juta dan Rp105,9 miliar, tanpa kejelasan penyelesaian hingga kini.

Berdasarkan laporan terakhir per Mei 2019, progres pekerjaan secara keseluruhan hanya mencapai 91,52%. Padahal, realisasi pembayaran proyek ini telah mencapai angka mencengangkan sebesar Rp122,6 miliar.

Ironisnya, pekerjaan dihentikan pada September 2019 karena kontraktor, Konsorsium PT Boustead Maxitherm Industries dinyatakan wanprestasi akibat kesulitan keuangan. 

Surat Pemutusan Kontrak Nomor 1487 bahkan menyebutkan bahwa proyek resmi diputus, meskipun pencairan jaminan pelaksanaan hanya sebesar Rp9,3 miliar, jauh dari nilai kerugian riil.

Tak hanya itu, data BPK menunjukkan bahwa pencatatan biaya proyek dalam akun PDP (Proyek Dalam Penyelesaian) sejak 2012 hingga 2022 mencapai Rp276,6 miliar, angka yang menimbulkan pertanyaan besar terhadap transparansi dan akuntabilitas pengelolaan proyek tersebut.

Lebih miris, PLN sebenarnya telah merencanakan agar PLTU ini bisa beroperasi pada Desember 2018. 

Namun hingga 2025, pembangkit ini tak kunjung menghasilkan listrik sebutir pun. Padahal, jika beroperasi sesuai jadwal, negara bisa menghemat biaya pokok produksi (BPP) listrik hingga Rp63,3 miliar per tahun. 

Sebaliknya, sistem kelistrikan Karakelang kini berada dalam kondisi defisit -1,8 MW dengan reserve margin minus 31%, memaksa PLN terus membakar solar melalui PLTD yang mahal dan tidak efisien.

PLN melalui anak usahanya, PLNE, telah menyusun estimasi tambahan biaya penyelesaian sebesar Rp136,9 miliar. Namun publik bertanya, sampai kapan proyek ini akan diseret-seret tanpa kejelasan?

Masyarakat Kabupaten Kepulauan Talaud mendesak agar temuan BPK ini tidak berhenti di atas kertas. 

Polda Sulut diminta segera menindaklanjuti indikasi korupsi dalam proyek ini. 

Dengan total dana publik yang telah digelontorkan dan hasil yang nihil, PLTU Talaud 2×3 MW menjadi simbol kegagalan perencanaan, lemahnya pengawasan, dan potensi kejahatan berjamaah dalam pengelolaan proyek infrastruktur energi. 

Rakyat Talaud berhak mendapatkan jawaban. Dan hukum, harus segera bicara. (IOP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *