Manado, PELOPORBERITA.ID — Sidang pemeriksaan setempat (sidang lokasi) dalam perkara nomor 19/G/2025/PTUN Manado membuka sejumlah fakta penting terkait sengketa tanah bersertifikat HGB 3320 Desa Sea, yang digugat oleh Evi Karauan.
Pemeriksaan setempat atau sidang lokasi ini dipimpin langsung ketua Majelis Hakim Erick Siswandi Sihombing, S.H, M.H, dibantu Hakim Anggota Muh Ridhal Rinaldy, S.H, Fitrayanti Arshad Putri, S.H dan Panitera Pengganti Rivo Turangan, S.H.
Kuasa hukum penggugat, Noch Sambouw, S.H, M.H, C.M.C menegaskan bahwa rangkaian temuan di lapangan dan dalam persidangan menguatkan dugaan adanya praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat.
Dalam sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Hakim PTUN Manado, terungkap bahwa objek tanah sengketa selama puluhan tahun dikuasai dan dikelolah oleh penggugat.
Sambouw menjelaskan bahwa penguasaan atas tanah tersebut memiliki sejarah panjang dan jelas.
“Tanah itu dikuasai sejak tahun 1960 oleh Lexi Tangkumahat.
Kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Jantje Hermanus Tangkumahat, sebelum dijual kepada klien kami, Evi Karauan, pada tahun 2002.
Selama lebih dari 60 tahun tidak pernah ada pihak lain yang mengklaim atau menggugat tanah itu,” ujar Sambouw.
Kuasa hukum menyoroti keberadaan sertifikat HGB 3320 yang diterbitkan di atas tanah yang secara faktual telah lama dikuasai oleh masyarakat.
Ia menilai penerbitan sertifikat tersebut sarat kejanggalan, terutama dari sisi prosedur dan asal-usul data pertanahan.
Menurut pihak tergugat intervensi, tanah tersebut dibeli dari Mince Mumu, Yan Mumu, dan Doni Mumu.
Namun dalam pemeriksaan lapangan, ditemukan bahwa sertifikat atas nama Mince Mumu diterbitkan pada 1995, pada masa jabatan Hukum Tua Desa Sea, Johan Pontororing.
“Dalam sidang lokasi tadi, saksi Johan Pontororing sendiri menegaskan bahwa selama menjabat dari 1987 sampai 1995, ia tidak pernah memerintahkan pengukuran tanah yang menjadi dasar penerbitan sertifikat atas nama Mumu cs.
Lebih aneh lagi, permintaan konversi tanah justru ditandatangani oleh Hukum Tua Malalayang Dua, bukan Desa Sea, tempat tanah itu berada,” kata Sambouw.
Keterangan BPN Minahasa yang menyebutkan bahwa tanah itu awalnya milik keluarga van Essen juga dipatahkan dalam persidangan.
Ahli waris Sofia van Essen, Michael Hutara van Essen, yang dihadirkan sebagai saksi, menyatakan bahwa neneknya telah meninggal sejak 1938.
“Sangat tidak masuk akal jika tanah tersebut dijual oleh Sofia Van Essen pada tahun 1953, sementara berdasarkan silsilah, beliau sudah meninggal 15 tahun sebelumnya,” tegas Sambouw.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa dokumen hak erpacht yang diajukan tergugat hanyalah salinan yang diduga telah diutak-atik, bukan dokumen asli.
Sambouw juga membeberkan bahwa pihak Mumu cs pernah menggugat tanah tersebut melalui jalur pidana dan perdata pada 1999–2000.
Tiga perkara perdata nomor 91, 104, dan 105 seluruhnya diputus kalah pada 6 Januari 2000.
“Setelah kalah, mereka tidak mengajukan upaya hukum lagi.
Tetapi anehnya, sertifikat kemudian dialihkan kepada seorang konglomerat nasional, Jimmy Widjaya.
Padahal AJB jelas menyebutkan bahwa objek jual beli tidak boleh dalam sengketa,” katanya.
Menurutnya, peralihan ini merupakan tindakan ilegal yang mengabaikan asas kehati-hatian dan mengandung indikasi pelanggaran hukum.
Dalam sidang lokasi, majelis hakim turut memeriksa batas-batas tanah, kondisi fisik, dan tanda-tanda penguasaan.
Ditemukan pohon kelapa berusia 45–50 tahun yang membuktikan bahwa tanaman tersebut ditanam oleh pihak yang telah lama menguasai tanah itu, bukan oleh Mumu cs.
“Tanah itu jelas bukan bagian dari pembebasan Ring Road 3.
Batas-batasnya nyata, tanaman-tanamannya bukan baru.
Klien kami membayar pajak, negara menikmati manfaatnya.
Secara hukum maupun sosial, penguasaan mereka sah dan beritikad baik,” jelas Sambouw.
Namun Sambouw menyoroti adanya pagar dan CCTV yang dipasang oleh pihak yang disebutnya “oknum konglomerat”, bahkan dengan dukungan aparat keamanan.
“Ini ironis. Tanah yang bersengketa dipagar secara paksa, dan aparat justru membackup pihak yang kami nilai melanggar hukum,” ujarnya.
Meski tidak ingin mendahului kewenangan hakim, Sambouw menyatakan keyakinan bahwa seluruh dalil gugatan telah mereka buktikan secara tuntas.
“Semua yang kami dalilkan terbukti, dari sejarah penguasaan tanah, kejanggalan penerbitan sertifikat, bukti saksi, bukti surat, sampai fakta lokasi.
Kami yakin majelis hakim akan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta hukum yang terang-benderang,” tutupnya.
Kasus ini menyoroti bahaya mafia tanah yang diduga masih aktif merongrong masyarakat di Sulawesi Utara, sekaligus menguji keberanian penegak hukum dalam menegakkan keadilan di tengah kepentingan pihak-pihak berkekuatan ekonomi besar. IOP












