Tanah Warga Belum Dibebaskan, PT HWR Nekat Keruk Emas, Kejagung RI Turun Tangan

Blog648 Dilihat

Sulut, PELOPORBERITA ID – Kasus tambang emas di Ratotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, kian panas.

Tim khusus Kejaksaan Agung RI turun langsung ke Sulawesi Utara untuk meminta klarifikasi terkait dugaan tindak pidana serius yang menyeret nama PT Hakkian Wellem Rumansi (HWR).

Dugaan itu meliputi kerusakan lingkungan, penyerobotan lahan milik warga, hingga penggelapan pajak pertambangan.

Langkah Kejagung ini dinilai sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam memastikan bahwa program “tambang untuk rakyat” tidak dirampas oleh korporasi nakal.

Saat diwawancarai di Kantor Kejati Sulut, Mahendra Sangian atau yang akrab disapa Devan, kuasa hukum PT HWR, menepis isu liar yang beredar.

“Tadi hanya diminta memasukkan kelengkapan dokumen.

Dugaan penggelapan pajak atau penyerobotan lahan itu tidak benar,” ujarnya singkat sebelum meninggalkan kantor Kejati.

Namun bantahan itu justru berlawanan dengan data dan bukti yang dibawa oleh pihak Elisabeth Laluyan, warga pemilik lahan seluas 5,5 hektare lebih yang mengaku menjadi korban penyerobotan.

Dr. Steven Pailah, SH, kuasa hukum Elisabeth Laluyan, mengungkap fakta mencengangkan. Sejak 2015 hingga 2022, hubungan antara PT HWR dan kliennya berjalan tanpa masalah.

Namun mulai 2023, muncul gesekan setelah PT HWR mencoba melakukan kompensasi sebanyak tiga kali, tapi tanpa kelanjutan.

Ironisnya, alih-alih menyelesaikan secara damai, pihak perusahaan justru diduga melakukan pembongkaran, perusakan, dan pengambilan ore (OR) mengandung emas di tanah milik Elisabeth.

“Kalau memang mau diselesaikan baik-baik, kenapa tanpa izin melakukan pengambilan ore?

Sampai hari ini mereka masih membongkar dan merusak lahan.

Kami punya bukti foto dan video,” tegas Pailah.

Lebih jauh, kuasa hukum Elisabeth membeberkan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT HWR telah ditolak oleh Kementerian ESDM.

Artinya, perusahaan seharusnya tidak boleh melakukan produksi.

“Sudah dua tahun RKAB ditolak. Tapi mereka masih beroperasi, menggali, dan memproduksi.

Ini jelas pelanggaran. Pertanyaannya, apakah pajak dan penerimaan negara dibayar? Di sinilah letak dugaan pidananya,” pungkasnya.

Parahnya lagi, pada 30 November 2025, masa izin 10 tahun PT HWR berakhir.

Alih-alih melakukan reklamasi dan reboisasi sebagaimana kewajiban hukum, perusahaan justru terus mengeruk lahan.

Masalah lahan pun bukan perkara baru. Sengketa tanah milik Elisabeth Laluyan sudah berproses di ranah perdata dan pidana sejak 2012 hingga 2015, dengan putusan pengadilan yang telah inkracht.

Tanah tersebut sah milik Elisabeth berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) yang disahkan PPAT/Camat, diperkuat dengan surat ukur dan register desa.

“Putusan pengadilan jelas menyatakan tanah ini milik klien kami.

Tapi kenapa PT HWR masih nekat masuk, menggusur, bahkan menambang?” kata Pailah.

Kuasa hukum Elisabeth meminta Kejagung RI untuk bersikap adil dan tegas, bukan hanya mengusut aspek perdata, tetapi juga pidana lingkungan, penyerobotan lahan, dan penggelapan pajak.

“Kami berharap Kejagung mengambil langkah tegas sesuai aturan dan kewenangan, demi kepastian hukum dan perlindungan rakyat,” tutup Pailah. IOP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *