Fakultas Kedokteran Menjerit, Rektor Unsrat Diduga Langgar Tata Kelola dan Etika Akademik

Blog675 Dilihat

MANADO, PELOPORBERITA.ID – Kritikan terhadap kepemimpinan Rektor Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) kembali mencuat. 

Beberapa akademisi menilai bahwa kondisi tata kelola universitas kian merosot, dipicu oleh sejumlah kebijakan yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.

Dalam rapat senat Fakultas Kedokteran baru-baru ini, Rektor Unsrat mengusulkan penggabungan beberapa bagian ke dalam struktur jurusan. 

Usulan ini menuai kritik karena dinilai tidak relevan dengan struktur keilmuan yang selama ini sudah dibentuk berdasarkan kolegium masing-masing. 

Salah satu akademisi yang enggan disebutkan namanya menilai kebijakan ini “tidak realistis secara akademik dan administratif.” 31/7/25

Dugaan lain yang turut mencuat adalah soal penundaan penetapan kepala bagian definitif di Fakultas Kedokteran, yang sebagian besar saat ini masih dijabat oleh Pelaksana Tugas (PLT). 

Hal ini disebut-sebut berdampak langsung pada menurunnya remunerasi bagi para dosen, khususnya pada semester genap tahun ini.

“Remunerasi dosen klinik di Fakultas Kedokteran bahkan turun drastis. 

Dalam enam bulan, ada yang hanya menerima Rp7 juta. 

Itu sama artinya Rp583.000 per bulan, lebih rendah dari standar upah minimum,” ujar sumber yang juga merupakan dosen aktif.

Fakultas Kedokteran, yang selama ini dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Unsrat, justru dinilai tidak memperoleh alokasi kembali yang proporsional. 

Para akademisi mempertanyakan mengapa hasil PNBP tidak dikembalikan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan maupun fasilitas pendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Selain itu, muncul keluhan terkait intervensi rektorat terhadap proposal penelitian dan publikasi jurnal. 

Beberapa dosen mengaku bahwa proposal yang sudah disetujui di awal malah digeser di tahap akhir tanpa alasan jelas. 

Padahal, beban akademik dosen terus meningkat, terlebih dengan tuntutan publikasi internasional bereputasi tinggi yang membutuhkan biaya besar, bahkan mencapai puluhan juta rupiah per artikel.

Sorotan juga mengarah pada dugaan konflik kepentingan dalam proses penerimaan mahasiswa. 

Dalam sebuah kasus yang mencuat kembali dari tahun 2023, disebutkan adanya perubahan teknis ujian dari 3.000 soal menjadi hanya 180 soal pada jalur T2. 

Perubahan ini memicu spekulasi karena bertepatan dengan kelulusan salah satu peserta yang diketahui memiliki hubungan keluarga dengan pihak pimpinan kampus.

Kecurigaan menguat setelah diketahui bahwa peserta tersebut hanya melakukan satu kesalahan dari 180 soal, sementara hasil akademiknya sebelumnya tidak menonjol. 

Kendati belum ada konfirmasi resmi, sejumlah pihak mendesak agar hal ini ditindaklanjuti oleh pihak berwenang untuk menjaga integritas institusi pendidikan tinggi.

Akademisi menilai bahwa penegakan kode etik dan transparansi dalam tata kelola universitas perlu diperkuat. 

“Jabatan adalah amanah, bukan alat kekuasaan. Jika ada pelanggaran, harus ada penindakan, bukan pembiaran,” tutur seorang akademisi yang namanya enggan disebut.

Hingga berita ini diturunkan, pihak rektorat Unsrat melalui juru bicara Mner Max Rembang dan Mner Philip Regar saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp belum memberikan tanggapan resmi atas sejumlah kritik tersebut. 

Sebagai bagian dari komitmen terhadap prinsip kode etik jurnalistik, media ini akan terus menunggu konfirmasi resmi dari pihak rektorat, untuk dimuat dalam berita lanjutan. 

Sementara itu, pihak Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Pendidikan Tinggi, didesak untuk menindaklanjuti berbagai dugaan maladministrasi dan pelanggaran etika yang terjadi di Unsrat demi menjaga marwah pendidikan tinggi. RED

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *