BOLTIM, PELOPORBERITA.ID – Dugaan penyimpangan keuangan mencoreng wajah DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim).
Aktivis anti-korupsi Jeffrey Sorongan meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara segera memeriksa 20 anggota DPRD Boltim terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kelebihan pembayaran tunjangan perumahan tahun anggaran 2024.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang tercatat pada Lampiran 5, ditemukan perincian kelebihan pembayaran yang mencurigakan.
Anehnya, meski hanya 20 anggota DPRD yang seharusnya menerima, justru terdapat 36 nama yang tercatat menikmati dana tunjangan tersebut.
Berikut daftar inisial nama yang diduga menerima kelebihan pembayaran tunjangan perumahan:
FLJ (Ketua), ML (Wakil Ketua/Anggota), MJ (Wakil Ketua), WR (Anggota), MQP (Anggota), DS (Anggota), Amt (Anggota), SG (Anggota), Sah (Anggota), AS (Anggota), SKd (Anggota), MT (Anggota), RMmt (Anggota), TSMm (Anggota), SS (Anggota), KSm (Anggota/Wakil Ketua), RRL (Anggota), AAM (Anggota), MD (Anggota), ET (Anggota), SDm (Ketua), RS (Anggota), TSmk (Anggota), MMdn (Anggota), MIP (Anggota), AKB (Anggota), TO (Anggota), SBM (Anggota), Amtl (Anggota), CAK (Anggota), WDm (Anggota), LKM (Anggota), DMS (Anggota), AAR (Anggota), CW (Anggota), RHA (Anggota).
“Ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi ada dugaan kuat pelanggaran hukum.
Kami minta Kejati Sulut tidak tinggal diam dan segera memanggil serta memeriksa seluruh pihak yang disebut dalam LHP BPK tersebut,” tegas Sorongan.
Menurut Sorongan, praktik semacam ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 3 yang menegaskan bahwa setiap pengelolaan keuangan negara wajib dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab.
Tak hanya itu, jika terbukti adanya kerugian negara akibat kelebihan pembayaran, maka berdasarkan Pasal 20 UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, pejabat atau pihak yang menyebabkan kerugian wajib mengembalikan kerugian negara tersebut.
Bila tidak, kasus ini dapat dilanjutkan ke ranah pidana sesuai dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
“Kami mendukung penuh misi Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Tapi bagaimana mungkin itu terwujud jika praktek semacam ini terus dibiarkan?” ujar Sorongan.
Masyarakat Kabupaten Boltim menanti, apakah Kejati Sulut berani memproses para wakil rakyat yang diduga turut “menikmati” uang negara secara tidak sah, atau justru membiarkan praktik ini berlarut hingga menambah daftar impunitas pejabat publik di daerah? IOP