Uang Rakyat Mengalir ke Kantong DPRD Boltim, BPK Temukan Pembayaran Tunjangan Tak Sesuai Aturan

Blog141 Dilihat

BOLTIM, PELOPORBERITA.ID – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulawesi Utara menemukan adanya kelebihan pembayaran tunjangan perumahan kepada anggota DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Tahun Anggaran 2024 yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Total kelebihan pembayaran tersebut mencapai Rp875.200.000,00.

Temuan itu terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor: 7.B/LHP/XIX.MND/05/2025, tanggal 23 Mei 2025 atas pengelolaan keuangan Pemkab Boltim, yang mencatat bahwa selama tahun 2024, realisasi tunjangan perumahan bagi 20 anggota DPRD, yang terdiri dari satu Ketua, dua Wakil Ketua, dan 17 Anggota, melampaui standar harga satuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2023 dan perubahan melalui Perbup Nomor 1 Tahun 2024.

Berdasarkan peraturan tersebut, tunjangan perumahan yang semestinya diberikan adalah:

• Ketua DPRD: Rp12.100.000/bulan

• Wakil Ketua: Rp9.700.000/bulan

• Anggota DPRD: Rp5.900.000/bulan

Namun kenyataannya, berdasarkan SP2D yang diperiksa, tunjangan yang dibayarkan justru lebih tinggi:

• Ketua DPRD: Rp12.500.000/bulan

• Wakil Ketua DPRD: Rp11.000.000/bulan

• Anggota DPRD: Rp10.000.000/bulan

Hal ini menunjukkan adanya pembayaran melebihi ketentuan yang berlaku, yang merupakan bentuk penyimpangan administratif dan potensi kerugian keuangan negara.

Terkait dengan temuan ini, aktivis anti-korupsi Jeffrey Sorongan mendesak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara (Kejati Sulut) agar segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut. 

Ia menilai bahwa praktik kelebihan pembayaran ini berpotensi melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3 yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”

Sorongan menduga, “Temuan BPK ini bukan hanya kesalahan administratif semata, tetapi telah menimbulkan kerugian riil terhadap keuangan daerah. 

Ini harus ditindaklanjuti sebagai indikasi korupsi, bukan sekedar rekomendasi pengembalian uang.” Tegasnya

Hasil wawancara BPK dengan pejabat terkait mengungkap lemahnya proses verifikasi dan pengujian atas pembayaran tunjangan. 

Sekretaris DPRD selaku Pengguna Anggaran dan Plt. Kepala Bagian Umum dan Keuangan selaku PPK terbukti tidak melakukan uji kelayakan dan verifikasi atas besaran tagihan yang dibayarkan.

Padahal, sesuai dengan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan Perda Kabupaten Boltim Nomor 4 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pejabat yang bertugas wajib meneliti kelengkapan, keabsahan, dan kebenaran materiil tagihan sebelum dilakukan pembayaran.

Sorongan pun meminta agar Kejati Sulut membuka penyelidikan terhadap seluruh pihak yang terlibat, karena tindakan ini telah mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah.

“Jika dibiarkan, ini menjadi preseden buruk. DPRD sebagai lembaga legislatif seharusnya menjadi teladan dalam ketaatan hukum, bukan justru menikmati kelebihan pembayaran dari uang rakyat,” tambahnya.

BPK dalam rekomendasinya telah meminta agar Pemkab Boltim menagih kembali kelebihan pembayaran tersebut kepada pihak yang menerima, serta memperbaiki sistem pengawasan dan pengendalian internal. IOP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *