Kasihan, Warga Bunaken dan Manado Tua Terancam Digusur, Status Tanah Adat Digeser Jadi Kawasan Konservasi

Blog272 Dilihat

MANADO, PELOPORBERITA.ID – Ribuan warga yang mendiami Pulau Bunaken dan Manado Tua kini hidup dalam kecemasan menyusul penetapan kawasan tempat tinggal mereka sebagai kawasan konservasi hutan.

Penetapan ini berpotensi menghapus hak masyarakat atas tanah warisan leluhur (Pasini) yang telah mereka kelola turun-temurun sejak sebelum Indonesia merdeka.

Ancaman penggusuran ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara masyarakat dari empat kelurahan di kedua pulau dan Komisi I DPRD Kota Manado. Dalam rapat tersebut, masyarakat menyampaikan protes keras atas penetapan sepihak oleh pemerintah yang menjadikan lahan-lahan pemukiman dan kebun mereka sebagai “tanah negara”.

“Padahal tanah yang kami tinggali dan kelola ini bukan tanah negara. Ini tanah Pasini, tanah adat dari leluhur kami yang sudah hidup dan bercocok tanam di sini sejak abad ke-18,” ungkap Harold Caroles salah satu tokoh masyarakat, berdasarkan data sejarah lisan yang diperoleh dari para tetua kampung.

Pulau Bunaken yang selama ini dikenal sebagai surga bawah laut dunia memiliki sejarah panjang. Berdasarkan penuturan tokoh adat, pulau ini pertama kali dihuni sekitar tahun 1750 oleh para leluhur seperti Dotu Jurian, Dotu Loho, dan Dotu Lunder. Nama Bunaken sendiri awalnya dikenal sebagai Pulau Piso, karena dulunya kerap menjadi tempat perebutan wilayah oleh pendatang.

Hal serupa juga berlaku di Pulau Manado Tua, yang merupakan situs sejarah Kerajaan Bawontehu sejak tahun 1600-an. Di pulau ini masih terdapat peninggalan bersejarah seperti kursi raja, sumur tua, dan kuburan kuno yang menandakan eksistensi masyarakat adat selama berabad-abad.

Sayangnya, kini warga di kedua pulau tersebut menghadapi ancaman nyata. Sekitar 719 hektar di Bunaken dan 900 hektar di Manado Tua ditetapkan sebagai kawasan konservasi, termasuk area pemukiman dan kebun masyarakat.

Hal ini dikhawatirkan akan melemahkan posisi hukum warga jika suatu saat ada proyek pembangunan besar dari pemerintah atau swasta.

Kekhawatiran warga makin bertambah setelah mengikuti program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun 2023. Dalam sertifikat yang mereka terima, batas tanah mereka bukan lagi dicatat sebagai tanah adat atau milik pribadi, melainkan berbatasan dengan “tanah milik negara”.

“Ini sangat aneh. Sertifikatnya sah, tapi isinya mencabut pengakuan atas hak waris dan sejarah kami. Kalau ini dibiarkan, kami bisa digusur kapan saja,” keluh seorang warga.

Dalam rapat, perwakilan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) mengakui bahwa belum ada pengukuran atau penetapan resmi batas konservasi di Bunaken maupun Manado Tua. Artinya, penetapan kawasan konservasi yang mencakup lahan masyarakat belum memiliki dasar hukum yang kuat. IOP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *