Miris! 9 Hukumtua di Minahasa Tenggara Diduga Tak Bayar Hak Perusahaan Meski Proyek Rampung

Mitra, PELOPORBERITA.ID — Pemerintahan desa kembali tercoreng. Kali ini datang dari Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara, di mana 9 kepala desa (Hukumtua) diduga kuat enggan membayar hak perusahaan yang telah menyelesaikan proyek pembangunan di wilayah mereka.

Dugaan ini sontak memicu kegelisahan di tengah masyarakat dan aktivis anti-korupsi.

Informasi yang dihimpun dari sumber terpercaya menyebutkan, para kepala desa tersebut sudah pernah dipanggil oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Mitra untuk dimintai klarifikasi dan menyelesaikan kewajiban.

Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada itikad baik dari para hukumtua tersebut untuk membayar jasa pekerjaan.

Berikut sembilan desa yang disebut dalam pusaran kasus ini, meliputi:

1. Wioi 2

2. Wioi 3

3. Wioi Timur

4. Minanga 2

5. Minanga Timur

6. Bentenan

7. Bentenan 1

8. Bentenan Indah

9. Makalu

“Dari sekian banyak desa, ada 9 Hukumtua yang tidak membayar pekerjaan, padahal sudah ada surat perjanjian dengan perusahaan. Mereka dipanggil Kadis PMD, tapi tetap cuek,” ujar sumber yang enggan disebut namanya.

Lebih jauh, dugaan ini semakin menguat karena adanya indikasi pekerjaan yang dilakukan perusahaan tidak dimasukkan dalam struktur anggaran Dana Desa (DD).

Jika benar demikian, maka pertanyaannya: dari mana mereka mengambil anggaran untuk membayar proyek tersebut? Dan jika tidak dibayar, ke mana dana desa dialokasikan?

Aktivis anti-korupsi, Deddy Loing, geram dengan kelakuan para kepala desa tersebut.

Ia menilai tindakan ini tak hanya melanggar etika pemerintahan, tetapi juga bisa menyeret ke ranah hukum pidana korupsi.

“Kalau mereka tidak membayar kewajiban kepada pihak ketiga, ini bisa masuk kategori penyalahgunaan dana desa.

Kami akan laporkan ke Polda Sulut agar segera ditindak,” tegas Loing.

Loing juga meminta agar pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memberi peringatan keras, terutama dalam kaitann dengan adanya program Koperasi Merah Putih.“

Jangan sampai dana Koperasi Merah Putih ikut digelontorkan ke desa-desa yang belum menyelesaikan kewajiban kepada pihak ketiga.

Kalau perusahaan bisa dihutang, lalu koperasi merah putih yang dibentuk oleh Presiden ke-8 ini mau jadi apa? Ini tidak bisa dibiarkan,” pungkasnya.

Kasus ini membuka tabir gelap dugaan manipulasi anggaran di tingkat desa.

Ketika kepala desa berani menandatangani perjanjian kerja tapi enggan menyelesaikan kewajiban, maka integritas pemerintahan desa patut dipertanyakan.

Aktivis anti-korupsi tersebut meminta agar aparat penegak hukum segera turun tangan dan mengaudit penggunaan dana desa di sembilan desa tersebut.

Jangan sampai praktik semacam ini menjadi “budaya” baru di desa-desa lain.

Jika dibiarkan, bukan hanya kredibilitas pemerintah desa yang hancur, tapi juga kepercayaan rakyat yang makin menipis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *