,SULUT, Pelopor berita.Id— Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menggelar kegiatan Dialog Interaktif Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Ramah HAM oleh Pemerintah Daerah di Kota Bitung pada Kamis (01/08/2024).
Pada sela-sela kegiatan ini, Ferry Daud Liando selaku Dosen Kepemiluan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unsrat mengatakan adanya potensi pelanggaran HAM yang akan dilakukan oleh Pemerintah pada Pilkada tahun ini. Salah satunya merupakan ketidaktersediaannya Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
Ferry mengatakan, tidak akan mungkin warga negara yang tidak memiliki KTP akan di daftarkan sebagai pemilih.
“Dan kemungkinan tidak akan bisa memilih di TPS pada 27 November 2024. Jika tidak punya KTP dan akhirnya tidak bisa memilih, maka hal ini merupakan pelanggaran HAM,” kata Ferry.
Tertulis di Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan bahwa, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan urusan administrasi kependudukan, wajib memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap penduduk. Yaitu, mencetak, menerbitkan serta mendistribusikan dokumen kependudukan.
Dijelaskannya, akan ada konsekuensi pidana bagi pihak-pihak yang menghilangkan hak pilih seseorang. Pada Pasal 510 UU Pemilu tertulis bahwa setiap orang yang sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Pelanggaran HAM lainnya, yakni intimidasi pada pemilih saat penyerahan Bantuan Sosial (Bansos) kepada masyarakat.
“Ada kewajiban pemilih untuk memilih calon tertentu pada saat penyerahan Bansos pemerintah. Jika pemilih terintimidasi karena dipaksa memilih calon tertentu, maka hal ini merupakan pelanggaran HAM,” jelasnya.
Adapun Ferry melanjutkan potensi pelanggaran HAM lainnya yaitu politisasi Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN yang telah memegang jabatan struktural atau yang mendapat fasilitas pemerintah, berpotensi diintervensi. Dalam hal pembuatan-pembuatan program yang mengarah pada kepentingan pemenangan calon tertentu atau memaksa ASN dan keluarganya untuk memilih calon yang di tuju.
Selain itu, pelanggaran HAM bisa juga menyasar pada calon, tim sukses ataupun partai politik. Seperti menyogok dengan memberikan uang atau barang kepada pemilih dengan maksud agar memilih calon tertentu, juga merupakan pelanggaran HAM.
“Penting bagi Komnas HAM untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran HAM yang akan terjadi pada Pilkada 2024, serta merumuskan kebijakan agar pelanggaran HAM dapat dicegah,” pungkasnya. Di lansir dari Acta diurna
Donald Audy(**)/