TOMOHON, PELOPORBERITA.ID — “Sebuah festival seharusnya menjadi cermin jiwa sebuah komunitas, bukan sekadar etalase untuk orang luar.”
SETIAP AGUSTUS, Kota Tomohon meledak dalam simfoni warna dan aroma.
Tomohon International Flower Festival (TIFF) telah menjadi mahakarya visual, sebuah panggung spektakuler yang sukses menempatkan nama kota sejuk di kaki gunung lokon ini ke panggung nasional, bahkan dunia.
Dengan dukungan penuh pemerintah pusat melalui kalender Kharisma Event Nusantara (KEN), narasi yang dibangun adalah narasi kesuksesan: citra kota terangkat, pariwisata menggeliat, dan kebanggaan nasional.
Perhelatan ke-13 pada tahun 2025 dengan tema “Unite to be Great” pun tidak terkecuali.
Namun, jika kita mengupas lapisan gemerlapnya, sebuah pertanyaan fundamental yang lebih sunyi namun menusuk muncul ke permukaan: Untuk siapa sebenarnya pesta miliaran rupiah ini diselenggarakan?
Apakah ia benar-benar denyut nadi kesejahteraan masyarakat Tomohon, atau sekadar pertunjukan megah yang manfaatnya mengalir ke segelintir pihak, meninggalkan mereka yang seharusnya menjadi jantung festival, para petani bunga, hanya sebagai penonton di tanah mereka sendiri?
Tidak ada yang bisa menyangkal keberhasilan TIFF sebagai sebuah operasi branding.
Sejak evolusinya dari pawai lokal pada tahun 2006 menjadi event internasional, pemerintah secara konsisten mempromosikan TIFF sebagai mesin penggerak kemajuan.
Angka-angka yang disajikan pun tampak membenarkan klaim ini.
Laporan perputaran ekonomi yang mencapai lebih dari Rp 92 miliar dengan lebih dari 300.000 pengunjung pada perhelatan tahun 2025 adalah sebuah pencapaian yang fantastis di atas kertas.
Narasi resmi menyebut ini sebagai multiplier effect, di mana gelombang wisatawan memicu aktivitas ekonomi di sektor UMKM, kuliner, hingga akomodasi.
Tren Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang positif, di mana Tomohon bahkan masuk dalam 20 besar nasional untuk realisasi pendapatan APBD pada tahun 2025, dan pengakuan dari para pejabat tinggi negara semakin memperkokoh citra TIFF sebagai aset bangsa yang tak ternilai.
Pesan “Dari Tomohon, kita kirim pesan kepada dunia” kembali digaungkan pada tahun 2025, menjadi klimaks dari sebuah strategi komunikasi yang berhasil.
Namun, keberhasilan dalam membangun citra seringkali menjadi selubung yang paling efektif untuk menutupi retakan-retakan di fondasinya.
Di sinilah fasad megah itu mulai menunjukkan keretakannya.
Ketika kita mengalihkan pandangan dari angka makro Rp 92 miliar ke kantong-kantong masyarakat, ceritanya berubah drastis.
Siapakah yang paling vital bagi sebuah festival bunga selain para petaninya?
Ironisnya, merekalah yang tampaknya paling sedikit menikmati kue ekonomi festival.
Untuk perhelatan 2025, dilaporkan puluhan kelompok tani memproduksi sekitar 303.000 tangkai bunga untuk memasok kebutuhan festival.
Sebuah penelitian akademis yang meneliti langsung para petani bunga di Desa Kakaskasen memberikan kesimpulan yang menohok: kontribusi TIFF terhadap tingkat kesejahteraan petani bunga “sangat kecil” dan “hampir tidak memiliki hubungan” dengan pelaksanaan festival.
Temuan ini menggemakan studi lain yang lebih luas, yang menyimpulkan bahwa meski anggaran festival begitu besar, “dampak yang masyarakat rasakan tidak meningkatkan taraf kesejahteraan hidup”.
Suara akademisi ini diperkuat oleh suara warga biasa.
Kritik pedas yang menyebut festival ini hanya “menghambur-hamburkan uang rakyat” dan “menguntungkan orang-orang di lingkaran pejabat saja” bukanlah sekadar sentimen negatif, melainkan cerminan dari sebuah realitas yang dirasakan di tingkat akar rumput.
Manfaat ekonomi yang besar itu tampaknya tidak “menetes ke bawah” (trickle-down) secara merata, melainkan “menggenang di atas” (puddle-up), terkonsentrasi pada pelaku usaha skala besar dan lingkaran elite, sementara para petani dan pelaku usaha kecil hanya kebagian percikannya.
Tentu, TIFF lebih dari sekadar uang. Festival ini adalah sumber kebanggaan budaya (cultural pride) yang nyata, dan pada tahun 2025 kembali disebut sebagai kebanggaan masyarakat dan bangsa.
Derap langkah penari Kabasaran dan alunan merdu musik kolintang adalah penegasan identitas Minahasa yang tak ternilai.
Ada kebanggaan kolektif saat melihat Tomohon menjadi sorotan dunia.
Namun, kebanggaan ini hidup dalam sebuah paradoks yang menyakitkan.
Masyarakat bangga dengan simbolisme festival, namun kecewa dengan substansinya.
Kekecewaan ini diperparah oleh biaya-biaya tersembunyi yang harus ditanggung komunitas.
Di balik kemeriahan parade, ada “gunung sampah” yang menjadi beban bagi dinas lingkungan hidup dan merusak estetika kota—sebuah masalah yang diakui sendiri oleh pemerintah.
Di balik arus wisatawan, ada tekanan hebat pada infrastruktur kota.
Kemacetan parah yang membutuhkan pengerahan ratusan personel keamanan, Polda Sulut mengerahkan sekitar 500 personel untuk TIFF 2025, serta lonjakan permintaan air bersih yang disebut sebagai “tantangan positif” oleh PDAM adalah “tagihan” yang harus dibayar oleh kenyamanan dan anggaran publik, jauh setelah para tamu pulang.
Semua ini mengerucut pada satu isu sentral: tata kelola dan akuntabilitas.
Anggaran “miliaran rupiah” yang menjadi buah bibir publik seharusnya diimbangi dengan transparansi mutlak.
Namun, hingga kini, laporan pertanggungjawaban yang detail dan mudah diakses publik masih menjadi angan-angan, sebuah isu yang bahkan disinggung dalam jurnal akademis.
Label “internasional” yang menjadi justifikasi utama atas anggaran besar ini pun patut dievaluasi secara kritis.
Memang, perhelatan 2025 melaporkan partisipasi dari beberapa negara sahabat seperti Jepang, Amerika Serikat, Turki, Albania, dan Filipina.
Namun, kritik dari studi sebelumnya yang menyatakan program TIFF “belum sepenuhnya efektif” karena minimnya partisipasi dan kunjungan internasional tetap memicu pertanyaan mendasar tentang return on investment.
Apakah tingkat partisipasi yang ada sudah sepadan dengan biayanya?
Terjadi sebuah kesenjangan antara branding yang megah dengan realitas yang mungkin tidak sebanding, yang didanai oleh uang publik dalam sebuah sistem yang kurang transparan.
Mengkritik memang mudah, tetapi jalan keluar harus dirumuskan.
TIFF tidak harus dibatalkan, tetapi harus direformasi secara fundamental.
Penyelenggara bisa mulai dengan berkiblat pada event sekelas Pasadena Rose Parade, yang tidak hanya melaporkan dampak ekonomi total, tetapi juga merincinya hingga ke penciptaan lapangan kerja dan pendapatan pajak secara transparan.
Pergeseran paradigma mutlak diperlukan: dari tontonan menjadi ekosistem.
Buatlah mekanisme formal, seperti koperasi, agar petani bunga menjadi pemasok utama dengan harga yang pantas.
Prioritaskan dan berikan subsidi bagi UMKM asli Tomohon. Alokasikan anggaran khusus untuk pengelolaan sampah pasca-acara.
Dan yang terpenting, terbitkan laporan pertanggungjawaban anggaran yang bisa diakses oleh setiap warga yang pajaknya turut mendanai festival ini.
Bentuk dewan penasihat komunitas agar suara mereka yang di bawah benar-benar didengar dalam perencanaan, bukan hanya sebagai objek dalam pelaksanaan.
Tanpa akar yang menyejahterakan tanahnya sendiri, semegah apa pun festival bunga ini hanyalah rangkaian bunga potong yang indah sesaat, sebelum layu dan dilupakan. IOP