MANADO, PELOPORBERITA — Proses seleksi Ketua Lingkungan (Ketling) Kota Manado 2025 berubah menjadi drama politik yang memalukan.
Tanpa alasan resmi, jadwal pengumuman hasil seleksi yang seharusnya dilakukan pada 29 Juli 2025 secara tiba-tiba dimajukan empat hari lebih awal, tepatnya 25 Juli 2025.
Langkah ini langsung memicu gelombang kecurigaan, ada apa di balik percepatan itu?
Jawabannya mulai terlihat. Dari 1.240 peserta, hanya sekitar 1 persen yang bukan wajah lama. Sisanya didominasi oleh nama-nama yang dikenal dekat dengan partai penguasa.
Ironisnya, sebelumnya Wakil Wali Kota Richard Sualang lantang berjanji bahwa seleksi ini akan berbasis sistem merit, bebas dari intervensi politik. Fakta di lapangan membuktikan sebaliknya, janji tinggal retorika kosong.
Aktivis Deddy Loing, yang selama ini vokal mengawal isu-isu demokrasi lokal, menyebut seleksi ini sebagai “penghinaan terhadap akal sehat rakyat.”
Ia menduga percepatan jadwal pengumuman sebagai langkah sistematis untuk menyamarkan skenario politik yang telah disusun rapi.
“Kalau prosesnya bersih, kenapa diumumkan diam-diam dan lebih cepat dari jadwal?” sindirnya tajam.
Lebih lanjut, Loing menduga panitia seleksi telah berubah fungsi, bukan lagi penjaga integritas, tapi agen distribusi kekuasaan.
Ia menyebut angka 99 persen peserta yang lolos adalah kader dari satu partai sebagai indikator brutalnya kooptasi politik dalam birokrasi tingkat lokal. “Ini bukan seleksi. Ini manuver politik untuk memperkuat cengkeraman,” ujarnya.
Sorotan juga diarahkan ke Julises Oehlers, Ketua Panitia Seleksi sekaligus Asisten I Setda Kota Manado.
Ia dinilai gagal menjaga netralitas dan membiarkan proses wawancara berubah menjadi ajang “casting pion politik.”
Sejumlah peserta mengaku wawancara lebih menyerupai interogasi loyalitas politik dibanding uji kompetensi.
Padahal sebelumnya, Sekda Manado Steven R. Dandel sempat menegaskan bahwa seleksi akan mengedepankan pemahaman Pancasila dan pelayanan publik.
Tapi itu hanya retorika. Realitasnya, seleksi hanya menjadi panggung sandiwara legalisasi hasil politik.
Kondisi ini membangkitkan trauma publik atas skandal serupa di tahun 2021, ketika Pemkot Manado membatalkan 12 nama Ketling yang sudah lolos karena tekanan Ombudsman RI.
Kini, babak baru sandiwara birokrasi kembali dipertontonkan dengan cara yang lebih vulgar.
Kini, wajah Pemerintah Kota Manado tercoreng. Klaim mereka soal seleksi yang profesional justru dibantah oleh fakta manipulasi, dominasi politik, dan dugaan pelanggaran hukum.
Lebih dari sekadar krisis integritas, ini adalah pembunuhan karakter demokrasi akar rumput.
“Ketika rakyat tak lagi percaya, maka rezim kehilangan legitimasi,” pungkas Deddy Loing. Nada tegas. Demokrasi lokal di Manado, kini tinggal nama. IOP